Reportase RS Berstandar Internasional: Selangkah Menuju Medical Tourism

Pada 2015 terdapat 600 ribu jiwa orang Indonesia yang berobat ke luar negeri dan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Pandemi COVID-19 telah membatasi perjalanan lintas negara, sehingga menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengembangkan wisata medis di dalam negeri. Meskipun wacana ini sudah ada sejak belasan tahun silam, sampai saat ini belum terlihat implementasinya. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) selaku Dekan FK – KMK UGM saat membuka webinar ini.

Webinar ini diselenggarakan dalam rangka Annual Scientific Meeting dan Dies Natalis FK – KMK UGM oleh Ikatan Alumni Manajemen Rumah Sakit (IKA MMR) pada Senin, 14 Maret 2022 lalu bekerjasama dengan Prodi S2 MMR UGM dan PKMK FK KMK UGM, serta disponsori oleh Keluarga Alumni Gadjah Mada Kedokteran (KAGAMADOK).

Pada 2015 terdapat 600 ribu jiwa orang Indonesia yang berobat ke luar negeri dan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Pandemi COVID-19 telah membatasi perjalanan lintas negara, sehingga menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengembangkan wisata medis di dalam negeri. Meskipun wacana ini sudah ada sejak belasan tahun silam, sampai saat ini belum terlihat implementasinya. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) selaku Dekan FK – KMK UGM saat membuka webinar ini.

Webinar ini diselenggarakan dalam rangka Annual Scientific Meeting dan Dies Natalis FK – KMK UGM oleh Ikatan Alumni Manajemen Rumah Sakit (IKA MMR) pada Senin, 14 Maret 2022 lalu bekerjasama dengan Prodi S2 MMR UGM dan PKMK FK KMK UGM, serta disponsori oleh Keluarga Alumni Gadjah Mada Kedokteran (KAGAMADOK).

Dirjen Pelayanan Kesehatan, Prof. dr. Abdul Kadir, Sp.THT-KL (K), M.A.R.S, menyatakan bahwa Kemenkes bekerjasama dengan Kemenparekraf mengembangkan kerangka konsep pengembangan kebijakan wisata kesehatan. Kerangka konsep tersebut fokus pada pengembangan infrastruktur, yaitu yang pertama adalah dukungan sektor kesehatan terhadap sepuluh destinasi wisata prioritas, kedua adalah pengembangan paket – paket wisata, dan ketiga adanya National Board Wisata Kesehatan. Menurut Kadir, yang juga tidak kalah penting adalah penguatan suprasistem, dimana masih ada kendala dalam hal jumlah dan distribusi SDM, serta kualitas pelayanan RS.

Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., M.P.H, Ph.D berpendapat bahwa medical surgeons Indonesia mempunyai kompetensi yang mumpuni, namun ada faktor lain yang menjadi daya tarik pelayanan kesehatan di luar negeri dibandingkan di Indonesia, antara lain faktor fasilitas fisik yang menjadi enablers, baik dalam hal empowerment (pasien merasa diberdayakan) maupun dignity (harga diri) pasien. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki tantangan lain, yaitu penyakit – penyakit khas seperti dengue yang dapat diderita oleh para pelancong. Saat mereka kembali ke negaranya dan mulai menunjukkan gejala terinfeksi dengue, hal itu akan meningkatkan kewaspadaan sistem kesehatan negara asal agar tidak menjadi wabah. Pelaku wisata kesehatan sendiri ada dua jenis, yaitu turis dan ekspatriat yang sedang berada di suatu negara dan kebetulan mengalami sakit sehingga perlu mengakses pelayanan kesehatan setempat. Jenis kedua yaitu pelaku wisata medis yang sengaja datang ke suatu negara untuk mendapatkan pengobatan. Faktor yang mendorong warga Indonesia mencari pengobatan di luar negeri, baik kurangnya kepercayaan dan rasa nyaman, pengalaman negatif, maupun tidak adanya layanan baru.
Globalisasi ekonomi yang mendorong pula globalisasi kesehatan. Langkah antisipasi untuk penguatan dalam negeri diperlukan. Indonesia sudah melakukan kerjasama bilateral dan multilateral untuk mengantisipasi hal tersebut. Ditjen Tenaga Kesehatan bertanggun jawab terhadap distribusi jumlah dan kualitas tenaga kesehatan, oleh karenanya harus ikut andil dalam mempersiapkan tenaga kesehatan untuk mengantisipasi dampak ekonomi global. Hal tersebut disampaikan oleh drg. Arianti Anaya, M.K.M, sebagai Direktur Jendral Tenaga Kesehatan yang belum lama ini dilantik oleh Menteri Kesehatan. Selain masalah kuantitas dan distribusi, menurut Arianti, masalah lain terkait tenaga kesehatan yaitu sertifikasi berstandar global, kelangkaan jumlah nakes tertentu, standar kualitas pendidikan, hingga sistem pendidikan dokter spesialis. Masalah – masalah ini perlu menjadi perhatian agar tenaga kesehatan Indonesia lebih mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki berbagai produk regulasi terkait dengan pendayagunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing, mulai dari UU Nomor 29 Tahun 2004, UU Nomor 44 Tahun 2009, UU Nomor 36 Tahun 2014 serta Perkonsil Nomor 14 dan 17 Tahun 2013, yang intinya mengatur prosedur tertentu dan syarat – syarat yang harus dipenuhi bagi TKWNA untuk dapat bekerja di Indonesia. Di akhir sesinya, Arianti menegaskan bahwa Kementerian Kesehatan telah menyiapkan RS bertaraf Internasional berikut SDM-nya agar mampu bersaing dengan RS – RS dari negara lain.
Diemnsi RS Internasional ada empat, yaitu pasien, standar pelayanan, pembayaran (asuransi), maupun pemilik (owner). Keempat dimensi ini seharusnya menjadi satu kesatuan dalam pengembangan RS Internasional, namun Dr. dr. Andreasta Meliala, D.P.H., M.Kes., M.A.S. melihat praktiknya di Indonesia masih parsial. Sementara itu, private insurance yang berasal dari modal asing tumbuh di Indonesia namun belum ada RS dalam negeri yang digabungkan kepemilikannya dalam jejaring RS Internaisonal. Kemudian, selama ini yang mempunyai intensi untuk menjadi RS internasional adalah RS swasta. Jika dibandingkan dengan daerah prioritas destinasi wisata, RS swastanya sangat kurang, yang selanjutnya akan mempengaruhi jumlah dokter spesialis yang praktik di daerah tersebut. Kasus di Thailand, medical tourism diserahkan ke sektor swasta, sedangkan pemerintah fokus pada pemerataan pelaksanaan UHC. Di akhir presentasi Andre menegaskan bahwa RS internasional dan medical tourism harus menjadi strategi biopolitik nasional.
ntung Suseno, M.Kes. sepakat dengan yang disampaikan oleh Andre bahwa salah satu faktor yang menarik bagi pasien asing untuk datang adalah jika RS bekerjasama dengan asuransi asing. Hal yang dapat diintervensi adalah „mistrusting“ yaitu dengan meningkatkan kepercayaan masyarakat domestik maupun asing terhadap mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Kriteria RS internasional menurut dr. Untung adalah teknologi tinggi, digital marketing yang masif, kualitas pelayanan, kolaborasi dengan konsorsium kepariwisataan, dan hospitality yang kuat. Indonesia Health Tourisme Board sedang dibentuk dengan tugas untuk membantu pembinaan dan pemasaran RS yang ingin berpartisipasi dalam medical tourism, serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang ada.

Webinar ini dihadiri oleh 478 peserta yang mengikuti secara daring melalui platform Zoom Meeting maupun Youtube. Para peserta umumnya berasal dari RS pemerintah maupun swasta, namun ada juga yang berprofesi sebagai akademisi/peneliti, konsultan kesehatan, dan sebagainya. Karena topik ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut, IKA MMR bermaksud akan menyelenggarakan webinar – webinar berikutnya secara serial dengan topik utama RS internasional, dan fokus pembahasan pada perspektif pelaku usaha pelayanan kesehatan, tenaga profesional, hingga kesiapan perguruan tinggi dalam menghasilkan tenaga kesehatan yang memiliki daya saing internasional. Nantikan acara kami selanjutnya. (Putu Eka Andayani – Ketua Bidang Diklat IKA MMR/Kepala Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK FK – KMK UGM).

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*