Pengantar
Selalu menarik untuk membahas mengenai knowledge management. Pertama, siapa yang menjadi pelaku knowledge management itu? Jelas sebuah lembaga atau organisasi. Kedua, penting untuk melihat knowledge management itu dalam konteks bangsa sebenarnya. Seberapa perhatiannya sebuah bangsa terhadap pengelolaan pengetahuan. Seperti yang didiskusikan pada series – series sebelumnya bahwa ada peningkatan anggaran untuk penelitian. Namun, dengan banyaknya penelitian yang dihasilkan ini, bagaimana diseminasinya? Menggunakan mekanisme apa penyebaran ilmu tersebut? Apakah hanya berakhir pada jurnal ilmiah? Apakah jurnal ilmiah efektif untuk menyebarkan ilmu? Siapa pengguna jurnal ilmiah? Apakah jurnal ilmiah dibaca oleh pengambil keputusan?
Mari berpikir ulang, apakah ada metode penyebaran ilmu lainnya selain jurnal dan siapa pelakunya? Salah satunya universitas. Apakah universitas memiliki inovasi – inovasi dalam penyebaran ilmu? inilah bahan diskusi kali ini. Begitu pengantar sekaligus pertanyaan dari Prof Laksono selaku fasilitator.
Silakan melihat video live streaming kegiatan ini pada https://www.youtube.com/watch?v=zh_gp4UTxiQ
Paparan
Pembicara di series ke-16 ini adalah Dr. Hatma Suryatmojo, S.Hut, MSI selaku Ketua Pusat Inovasi dan Kajian Akademik (PIKA) UGM. Pak Hatma dikenal juga dengan panggilan Mayong membagi pengalaman dalam upaya mengembangkan ekosistem pendidikan inovatif melalui knowledge management.
Mayong menyajikan data kompetensi yang dibutuhkan selama rentang 5 tahun ke belakang hingga pengguna konten digital menjadi pembuka paparan Mayong hari ini. Sangat menarik bahwa dalam rentang 5 tahun saja, perubahan kebutuhan kompetensi manusia abad 21 dapat berubah begitu cepat dan kecerdasan seperti pemecahan masalah, kreativitas, mengelola orang hingga emosional salah satu diantaranya. Ini merupakan tantangan bagi sebuah lembaga pendidikan dalam mendisain kurikulum yang adaptif dengan perubahan yang cepat ini. Termasuk, bagaimana pembelajaran dapat menggunakan konten digital yang banyak diakses oleh generasi milenial, diantaranya youtube, Instagram, dan Whatsapp.
Untuk itu, empat pilar membangun ekosistem pendidikan inovatif di UGM yakni, pertama mendorong pemanfaatan sumber belajar internal dan eksternal. Kedua, meningkatkan kompetensi abad 21; learning skilsl, literacy skills, dan life skills. Ketiga, mendorong pembelajaran sepanjang hayat melalui knowledge management; MOOCs, Kanal Pengetahuan, Menara Ilmu, dan UGM Channel. Keempat, menghasilkan pengetahuan, teknologi, dan inovasi; integrasi Tri Dharma; kompetensi global; lintas disiplin; magang industry; international mobility & exposure; blended learning; flexibility curriculum. Untuk itulah, universitas berkomitmen melakukan kegiatan – kegiatan peningkatan kapasitas dosen dan civitas akademik membuat konten pembelajaran dan redesain kurikulum, termasuk infrastrukturnya seperti studio mini untuk pembelajaran daring dan audiovisual.
Bahan paparan silahkan klik disini
Diskusi
Langsung ditanggapi oleh Prof Laksono, menarik bahwa UGM dapat dikatakan sebagai salah satu provider pengetahuan di Indonesia. Namun, bagaimana dengan lembaga atau organisasi kecil seperti rumah sakit contohnya, rasanya pengelolaan pengetahuan belum dilakukan. Artinya dalam konteks negara ada organisasi yang sadar pentingnya mengelola pengetahuan dan ada yang belum. Penting untuk membawa isu ini dalam konteks yang lebih besar, sebuah negara.
Memanfaatkan era digital dan internet sebenarnya menjadi peluang bagi bangsa kita untuk menjadi bangsa pembelajar. Namun, salah satu tantangannya saat ini adalah fasilitas bagi provider ilmu pengetahuan, insentif salah satunya. Negara kita masih berfokus untuk anggaran peneliti yang mengirimkan ke scopus, tetapi untuk knowledge provider belum. Dana penelitian cukup besar tetapi untuk diseminasi ilmu belum sebanding. Demikian yang dapat ditangkap dari diskusi dan paparan series sebelumnya.
Membentuk budaya knowledge management itu memang tidak singkat dan mudah, itu yang dirasakan UGM kata Mayong. Sebut saja call for proposal video pembelajaran dokumenter yang diadakan pada 2015 untuk dosen masih kurang dari slot insentif yang UGM sediakan. Namun pada 2018 bahkan dari 100 slot insentif yang UGM sediakan, menarik 300 proposal masuk. Akhirnya UGM, pelan – pelan dapat menuntut dan meningkatkan kualitas dari konten yang dibuat oleh dosen ini. Meski demikian, kita tetap tidak bisa meninggalkan pembelajaran luring. Intinya menyeimbangkan antara luring dan daring sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai harus tetap dilakukan dan dipertimbangkan.
Kemampuan provider pengetahuan dalam memanfaatkan banyak kanal digital untuk menyampaikan pengetahuannya itu penting sekali, ucap Mayong saat menanggapi pertanyaan Lutfan mengenai gap penggunaan platform digital oleh mahasiswa dan dosen. Oleh karena itu, kemampuan membuat konten yang bagus juga harus diimbangi dengan pengetahuan dan strategi untuk menyalurkannya dalam berbagai cara agar semakin dekat dengan pengguna.
Suryani dari FK Unisula Semarang menanggapi bahwa diskusi ini sangat menginspirasi untuk dikembangkan di institusinya. Tawaran kolaborasi sangat terbuka kata Prof Laksono kemudian, sebab hal ini menjadi isu kunci dimana instansi kecil berjalan lambat dan instansi besar berjalan sangat cepat, tetapi gap ini dapat dikecilkan dengan kolaborasi. Contohnya, Unissula dapat mengisi materi dan menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh FK – KMK UGM termasuk menggunakan jejaring yang sudah ada ditambah dengan jejaring Unissula sendiri. Akhirnya sama – sama akan dikenal dan berkembang.
Penutup
Knowledge management harapannya ada dalam ekosistem sebuah negara. Akan ada organisasi yang berperan sebagai knowledge provider, universitas misalnya. Namun, akan ada juga ratusan/ribuan organisasi lainnya sebagai pengguna knowledge tersebut. Interaksi ini yang akan membentuk ekosistem. Saat ini mungkin ekosistem ini belum bergerak dengan baik. Melalui forum ini kita akan terus berusaha membuat ekosistem ini bergerak.
Reportase oleh Madelina Ariani| Editing oleh Widarti